komunitas mural jogja angkat filosofi mahjong ways 3 dalam karya jalanan untuk rayakan keberagaman
dinding kota sebagai kanvas keberagaman
Yogyakarta — Di sejumlah lorong di kawasan Kota Gede dan Prawirotaman, kini terlihat mural-warna cerah yang berbeda dari biasanya. Di antaranya motif ubin persegi-simetris dengan warna kontras yang sangat mirip pola dalam game Mahjong Ways 3. Mural tersebut adalah hasil kolaborasi dari anggota Jogja Mural Forum (JMF) bersama seniman lokal dan warga setempat.
Raka (27), salah satu seniman dari komunitas ini, menjelaskan ide di balik karya mereka: “Kami ingin menggunakan visual ubin mahjong sebagai metafora hidup: ketika satu langkah salah, pola bisa rusak — seperti dalam masyarakat, keberagaman butuh strategi dan kerja sama.”
penggabungan tradisi dan simbol modern
Motif mahjong, yang sering dikaitkan dengan permainan strategi dari Asia Timur, dipadukan dengan motif batik Jogja dan ornamen wayang di dinding-dinding kampung. Proyek mural ini dirancang agar warga kampung merasa bagian aktif, bukan sekadar objek lukisan.
“Setiap blok ubin saya cat warna berbeda sesuai suku, agama, dan generasi yang ada di sini,” ujar Raka sambil menunjuk salah satu panel mural. “Kami ingin menyampaikan pesan bahwa keberagaman itu seperti susun ubin — semakin rapi, makin indah hasilnya.”
partisipasi warga sebagai kunci
Dalam pengerjaan mural, JMF mengajak para remaja kampung, pedagang kaki lima, hingga lansia untuk ikut mengecat bagian-bagian kecil. “Waktu kami siswa sekolah ikut mengecat garis hitam di antara ubin-ubin, mereka merasa punya bagian dalam karya ini,” kata Sri Yulianti (42)
Kegiatan ini bukan hanya sekadar seni jalanan, tapi juga forum dialog sosial. Warga berkumpul, berdiskusi soal nilai toleransi, kebersamaan, dan komunikasi antar-warga lewat simbol sederhana mural mahjong tersebut. Prof. Bambang Wiryawan, budayawan dari Universitas Diponegoro, menyebut inisiatif ini sebagai “dialog visual antar budaya”. Ia menjelaskan: “Game seperti Mahjong Ways 3 memuat unsur strategi, ketenangan, dan keseimbangan. Ketika diadaptasi ke mural jalanan, simbol-simbol itu dapat menyampaikan pesan sosial tanpa kata.” Ia menambahkan bahwa karya seni publik di Yogyakarta semakin dipandang bukan sebagai vandalisme, melainkan sebagai ruang ekspresi masyarakat. :contentReference[oaicite:4]{index=4} Di tengah lorong kampung yang dulu sempit dan gelap, mural ini membawa warna dan rasa memiliki baru. Anak-anak bermain di depan panel mural, pedagang menaruh meja kecil dengan latar mural, dan warga setempat merasa dinding mereka bukan sekadar batas rumah, tapi bagian dari identitas. Raka menutup sesi wawancaranya: “Kami berharap saat orang lewat dan lihat ubin-ubin itu, mereka nggak cuma lihat lukisan. Tapi juga ingat bahwa tiap elemen—warna, bentuk, ruang—itu punya cerita. Sama seperti masyarakat kita: berbeda tapi satu.”respon dari pakar seni dan budaya
mengubah ruang kota bersama
